Sunday, October 14, 2007

[Blog Action Day] Samarinda Banjir Sampai Kapan?

Samarinda yang kutinggali sejak 1990 telah banyak berubah. Terutama di percepatan pembangunan pada tahun 2001-2002 sejak otonomi daerah. Banyak daerah baru dibuka, banyak bukit menjadi hilang dan rata dengan muka bumi di sekitarnya. Banyak tutupan bangunan baru yang mengurangi resapan tanah. Banyak daerah menjadi banjir.

Dulu kala orang membangun rumah di daerah Air Putih sudah berupa rumah panggung untuk menghindari genangan air atau luapan air. Kini rumah-rumah panggung itu lantainya kalah tinggi dengan jalan yang dibangun dan banjir lebih tinggi dibanding lantai rumah panggung yang mestinya sudah cukup tinggi waktu itu.

Dulu RS Dirgahayu di Jl.Merbabu mestinya sudah dibangun dengan memperhitungkan banjir karena Samarinda = Sama rendah dan memang isi kota yang ada sampai kini masih berpusat di DAS Karang Mumus yang ketika banjir 10 tahun lalu menggenangi hampir seluruh kota. Kini RS Dirgahayu sering kebanjiran ketika hujan lebat lewat dari 30 menit. Air mengalir dari jalan Merbabu, sementara jalan Pasundan di sebelah rumah sakit dibatasi pagar tinggi sudah menjadi sungai dadakan. Jalan itu lebih tinggi sekitar 2-3 meter dari tanah rumah sakit, air bukan melimpas dari sungai dadakan di jalan Pasundan tapi masuk dari depan dari jalan Merbabu.

Jalan Gajah Mada persis di tepi sungai Mahakam sering banjir. Salah perencanaan? Ya salah perencanaan juga kurang pemeliharaan. Jalan di tepi sungai tidak selayaknya banjir jika muka air sungai masih lebih rendah dari jalan. Maka perencanaan saluran pembuangan alias drainagenya memang salah. Pemeliharaan gorong-gorong juga sulit dilakukan jika perencanaan salah. Banyak jalan di Samarinda yang menyediakan saluran banjir di median jalan, ya di atas jalan bukan di bawah jalan. Air dibiarkan melimpas melewati muka jalan bukan lewat gorong-gorong yang harusnya di bawah muka jalan.

Dari cerita-cerita orang-orang tua, dulu Samarinda adalah kota dengan banyak sungai kecil. Kini sungai-sungai kecil itu sudah hampir hilang semua. Hingga kini harus dikeluarkan dana luar biasa besar untuk membuat kembali saluran-saluran pengganti saluran yang hilang itu. Belum lagi hilangnya permukaan resapan air yang membuat air harus cepat mencari sungai. Tidak adanya jalur cepat air membuat air macet di mana-mana dan menjadi genangan air atau bahkan banjir.

Jadi Samarinda banjir sampai kapan?
Entah kapan Samarinda punya perencanaan yang baik untuk membereskan masalah banjir ini, baik membuat aturan, menghijaukan tutupan lahan yang hilang tanamannya maupun perencanaan pengendalian banjir yang baik.

-----------------------
tulisan ini (maunya) merupakan bagian dari Hari Aksi Blog tentang Lingkungan Hidup tahun 2007

7 comments:

  1. saya dengar Samarinda memang selalu banjir ya, sementara Balikpapan terus kekurangan air?

    ReplyDelete
  2. Balikpapan sering kekurangan air, juga kebanjiran juga. Bahkan Balikpapan banjir sudah makan korban jiwa melebihi Samarinda yang lebih sering banjir. Gara-garanya juga manusia yang menutup gorong-gorong buatan peninggalan Belanda, gorong-gorong ditutup terbentuk danau, dinding danau tidak kuat, jebol, menggelontor segala dihadapannya termasuk rumah.

    Solusi dibuat manusia, tapi kesalahan juga dibuat manusia. Harusnya ada hukuman berat untuk kejahatan seperti ini.

    ReplyDelete
  3. kita kok tidak belajar ya pada negara bekas penjajah kita itu yang dengan piawainya mampu mengontrol air?

    ReplyDelete
  4. Bukan tidak belajar, tapi malah merusaknya.
    Belanda sampai sekarang adalah negara yang piawai mengatasi air, karena negaranya sebagian di bawah muka air laut. Banyak peninggalan Belanda berupa pengaturan air untuk banjir, pembuatan kanal, dll. Sebagian masih tertinggal, sebagian besar sudah hilang.

    ReplyDelete
  5. Thx, aku aja lupa pernah nulis ini :)

    ReplyDelete
  6. ni kan eman udah jd arsip tulisan mas.. hehe...

    ReplyDelete